NISSA WARGADIPURA, Memuliakan Kebaikan Alam

Delapan tahun terakhir, Nissa Wargadipura (44) gencar mempromosikan makanan sehat. Bersama suaminya, ia mendirikan Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Sukagalih, Garut, Jawa Barat. Para santri di sana tak hanya mengaji ilmu agama, tetapi juga belajar pertanian, termasuk mengolah makanan lokal.

Nasi berwana coklat keunguan itu baru saja masak setelah dibakar dalam oven. Kepulan asap melayang di udara. Dari dapur berukuran 6 meter x 4 meter itu, harum rempah-rempah tercium menggugah selera.

”Ini nasi tutug oncom. Warna kecoklatan berasal dari oncom, fermentasi kacang kedelai. Warna ungu diambil dari bunga telang. Satu hari sejak banjir bandang Garut (20 September), kami membuatnya untuk pengungsi dan relawan bencana,” kata Nissa di rumahnya di Sukagalih, Tarogong Kidul, Garut, Minggu (25/9) lalu.

Nissa turut membantu menyediakan makanan untuk para pengungsi dan relawan banjir bandang Garut. Setiap hari, 500 nasi bungkus tutug oncom dibuatnya. Ada 30 santri dan warga sekitar pesantren yang membantunya.

Ide itu muncul dari minimnya pemenuhan makanan bergizi bagi pengungsi di sejumlah daerah bencana. Makanan cepat saji saja, seperti mi instan, bukanlah pilihan bijaksana bagi para pengungsi yang kelelahan, rawan sakit, dan tengah terguncang emosinya.

”Lewat tutug oncom tanpa bahan pengawet ini, kami ingin ikut memberi energi agar pengungsi atau relawan bencana terus sehat dan tetap semangat,” katanya.

Untuk alam

Nissa bukan koki. Di Garut, ia dikenal sebagai penggiat pangan berbasis kearifan lokal. Ayahnya, mantri pertanian di Garut, adalah orang pertama yang memperkenalkan Nissa kepada dunia itu. Sejak itu, ia doyan belajar otodidak cara bertani organik dan mempromosikan bahan makanan sehat.

Pada tahun 2008, ia menegaskan pilihan hidupnya. Setelah mundur dari Serikat Petani Pasundan, lembaga yang ikut ia dirikan untuk mendampingi masalah konflik agraria, Nissa mendirikan Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Sukagalih, Garut. Bersama suaminya, Ibang Lukmanurdin, dia mencurahkan perhatian untuk alam dan lingkungan yang sehat.

Berbeda dengan pesantren lain, kegiatan di Ath Thaariq bukan sekadar mengaji. Konsep bertani ala masyarakat Sunda diperkenalkan kepada santrinya. Perempuan itu yakin, menghargai lingkungan adalah ungkapan syukur kepada Allah.

Lahan 7.500 meter persegi di sekitar pesantren menjadi laboratorium sekaligus tempat praktiknya. Melalui lahan itu, konsep kedaulatan pangan diterapkan bersama para santri.

Dia mencontohkan sawah milik pesantren berukuran 6.000 meter persegi yang dibagi menjadi enam petak. Setiap petak ditanami padi dengan perbedaan usia sekitar sebulan. Panen pun bisa berlangsung terus-menerus. Dengan penanaman organik, dari satu petak sawah dihasilkan sekitar 2 ton sekali panen.

Sistem pertanian polikultur juga diterapkan. Selain padi, ditanam pula sumber karbohidrat lain, seperti ganyong, talas, dan pisang muda. Ada juga sayuran kenikir, pegagan, ruku-ruku, dan daun kelor. Beligo, labu kuning, tomat ranti, dan ceri monyet pun ditanam.

Menurut Nissa, sistem itu turut menjamin ketersediaan beragam pangan secara berkelanjutan. Praktik ini menjadi otokritik aatas sistem pertanian monokultur petani yang kerap sekadar memenuhi permintaan pasar.

”Sistem monokultur, terutama hortikultura, sangat merugikan saat gagal panen. Petani miskin bisa menjual rumah untuk melunasi utang kepada pemilik modal,” katanya.

Bibit tanamannya pun dikembangkan sendiri. Kini ada 450 benih yang dikembangkan, mulai dari padi Ciherang dan Sarinah hingga bunga telang ungu dan beligo.

Misinya tak berhenti sampai di sana. Selain menanam dan panen, para santri juga diajak mengolah hasil panen menjadi bahan makanan. Nissa yakin, dengan cara itu, mereka akan paham gizi dan khasiat makanan yang akan dikonsumsi.

Semua teori itu terlihat di tutug oncom yang dibuatnya. Selain oncom, semua bahan ditanam di pekarangan pesantren. Beras organik sehat tanpa pestisida. Bunga telang yang ditanam berkhasiat sebagai obat mata.

”Kami juga memasukkan serai dan jahe. Keduanya jadi obat rematik dan penghangat tubuh untuk membantu pengungsi melewati dinginnya malam di pengungsian,” katanya.

Daun kenikir yang dicampur dalam telur orak-arik juga memberi manfaat ganda. Selain melezatkan makanan, daun itu juga berkhasiat mencegah serangan kanker.

Nunung Nurhasanah (19), santri asal Rancabuaya, Garut, mengatakan, pengetahuannya terkait bahan-bahan ramah lingkungan semakin bertambah setiap hari. Ia tidak menyangka bunga telang ampuh menjadi obat alami untuk mencegah sakit mata.

”Sebelumnya, saya hanya tahu bunga telang cocok untuk hiasan di meja,” katanya.

Teteng (70), warga Sukagalih, Garut, juga seperti bernostalgia dengan nasi tutug oncom bercampur kenikir itu. Dulu, menu itu pernah menjadi makanan favorit banyak petani sebagai bekal ke sawah.

Namun, seiring perkembangan zaman dan alih fungsi sawah menjadi perumahan, tak banyak warga Garut ingin jadi petani. Bekal tutug oncom kenikir pun perlahan dilupakan. ”Di pesantren ini, saya diingatkan kembali pada makanan sederhana tapi penuh gizi ini,” ucapnya.

Mancanegara

Tak terasa, kini pilihan Nissa mempromosikan penanaman dan pengolahan bahan makanan sehat sudah berjalan delapan tahun. Ada 500 santri dari sejumlah daerah di Indonesia yang pernah belajar di Ath Thaariq.

”Hampir semua santri lulusan Ath Thaariq kini berkarya membangun tanah kelahirannya, baik melalui lembaga pendidikan maupun pertanian organik,” katanya.

Mahasiswa dan peneliti dari mancanegara juga pernah ikut mengenyam ilmu yang sama. Datang dari Filipina, Myanmar, Thailand, hingga Jerman, mereka belajar menanam dan mengonsumsi makanan sehat ala masyarakat Sunda.

Ketekunan pada kemandirian pangan organik berbasis kearifan lokal juga membuatnya dilirik organisasi pangan kelas dunia. Pada Maret 2016, ia diundang mendalami pertanian organik di The Navdanya Biodiversity Conservation Farm di India. Lalu, pada 7 Oktober 2016, ia diundang Worldwide Opportunities on Organic Farm ke Nepal dan Butan.

”Ini kesempatan besar untuk mendalami dan membagikan ilmu pertanian organik kepada semua orang,” ujarnya.

Saat Nissa bersemangat memaparkan cara bertaninya, kedatangan dua relawan asal Garut dan Subang dengan cepat menghentikan ide-ide pertanian mandiri keluar lebih banyak. Saat itu, jam makan siang sudah tiba. Jarum jam menunjukkan pukul 13.00.

Menurut Nissa, keduanya rutin ditugaskan mengambil tutug oncom untuk makan siang bagi relawan yang ikut membersihkan infrastruktur umum yang terdampak banjir bandang Garut, seperti sekolah dan fasilitas kesehatan.

”Nyandak sabaraha ayeuna (Ambil berapa sekarang)?” tanya Nissa.

”Ayeuna mah opat puluh, Bu. Tong seuur teuing, eta ge cekap pisan (Sekarang empat puluh, Bu. Jangan terlalu banyak, itu saja sudah cukup),” jawab seorang relawan.

Nissa segera bangkit dari duduknya. Sebelum pergi ke dapur, dia meminta izin memutus pembicaraan. ”Saya tinggal dulu sebentar. Mereka adalah orang-orang luar biasa yang harus terus makan sehat agar tenaganya bisa membantu semakin banyak korban banjir bandang,” katanya.

NISSA WARGADIPURA

LAHIR:

Garut, 23 Febuari 1972

SUAMI:

Ibang Lukmanurdin

ANAK:

  1. Salwaa Khanzaa (15)
  2. Akhfa Nazhat (12)
  3. Qaramitha Mulia (5)

PENDIDIKAN:

  1. SD Bungbulang II Garut (lulus 1984)
  2. SMPN Cibatu, Garut (1987)
  3. SMAN Cibatu, Garut (1990)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Oktober 2016, di halaman 16 dengan judul "Memuliakan Kebaikan Alam".

Posting Komentar

0 Komentar